Posted in My Life

Penodongan di Kopaja 502

Hari ini sehabis pulang kantor saya berbelanja di Menteng Huis, Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat. Saya pergi ke sana naik taksi karena tidak tahu tranpsotasi umum menuju kawasan tersebut. Saya cuma berbelanja sekitar 15 menit untuk membeli kosmetik, kemudian saya langsung berniat untuk pulang ke daerah Johar Baru, Jakarta Pusat. Saya mencari kendaraan umum apa yang bisa mengantar saya pulang.  Waktu Magrib sudah tiba.

Saya melihat kopaja warna hijau-putih nomor 502 melintas, tanpa mikir panjang saya langsung naik kopaja itu. Walaupun saya tidak tahu kendaraan umum apa yang melintas di Menteng Huis, saya PD naik kopaja 502. Saya yakin trayeknya melewati Jalan Cikini Raya dan kemudian belok kiri ke Jalan Kimia (terusan Jalan Diponegoro). Dulu kalau mau ke kampus UI Salemba, saya sering naik kopaja 502 dari Stasiun Cikini menuju RSCM. Jadi, saya yakin Kopaja itu bakal lewat RSCM. Rencananya kalau sudah sampai di RSCM, saya akan jalan kaki dan menyebrang naik angkot menuju rumah.

Saya mendapat tempat duduk di tengah. Dari pintu depan, seat saya urutan ke-3. Saya nomor dua dari sebelah kiri. Posisi saya tidak terpojok. Kopaja melaju dengan lambat di Jalan Cikini Raya. Kondektur menarik bayaran Rp 3.000,-. Banyak penumpang naik di depan Stasiun Cikini. Suasana makin ramai di dalam kopaja dan beberapa penumpang berdiri karena tidak dapat tempat duduk.

Pas di depan Metropolis, Kopaja tidak belok kirim ke Jalan Kimia, tapi malah lurus ke arah Pegangsaan yang sepi. Beberapa penumpang tampak bingung, mungkin banyak yang berencana mau turun di RS. St. Carolus, Kampus UI, atau RSCM seperti saya. Beberapa penumpang kesal dan minta turun. Saya masih bingung dan berpikir mau turun dimana. Kalau ikut turun berarti harus jalan kaki sepanjang Jalan Kimia. “Aduh capek!,” batin saya. Kalau ikut Kopaja, malah tambah jauh, harus nyambung angkot lagi, dan mungkin macet di Jalan Pramuka. Saya kelamaan mikir dan mungkin sudah nyaman duduk. “Kok lewat sini sih?”, penumpang lain menggerutu. Kopaja tetep jalan ke arah Pegangsaan yang sepi (Jalan Penataran).

Tak lama kemudian, seorang laki-laki bergerak dari kursi belakang menuju ke depan. Lelaki itu melewati saya dan tiba-tiba menodong ke arah perempuan muda di kursi depan. Dia mengarahkan senjata hitam pendek (kemungkinan pisau) dan menggertak perempuan tadi, “Diam! Diam!”. Perempuan yang ditodong kaget dan teriak panik. Spontan se-isi bis langsung ikut panik. Korban duduk di seat paling kiri, tepat di belakang pintu depan. Posisinya terpojok dijepit penumpang perempuan lain di sebelah kanan. Tak lama kemudian penodong beralih ke penumpang lain di belakang korban pertama. Korban kedua ini sama-sama terpojok. Saya yang berada tepat di belakang penodong, kalau saya diam pasti nanti giliran saya ditodong. Tak mau ambil pusing saya langsung beranjak ke pintu belakang. Penumpang-penumpang lain di belakang beranjak keluar pintu belakang. Kami berdesak-desakan.

“Turun! Turun cepat!” semua panik.

Penumpang di bagian depan juga berusaha keluar lewat pintu depan. Untung kopaja tidak terlalu melaju cepat, cenderung berhenti. Semua penumpang bergegas turun dan berhamburan ke jalan yang lebih ramai. Saya pun berlari menuju Jalan Kimia bersama 2 ibu dan 1 bapak. Saya takut kalau penodong berkelompok, mencegat saya, atau ada yang menembakkan senjata api. Semuanya berlangsung sangat cepat.

Ketika sampai di lampu merah pertigaan Jalan Kimia dan Jalan Proklamasi, saya ambil napas. Sudah agak aman. “Ya Allah! Baru kali ini ditodong,” seru saya dan masih berdebar-debar.Salah satu ibu yang berlari bersama saya cerita kalau dia melihat seorang pengendara motor yang sudah menunggu di luar kopaja. Kami curiga pengendara motor itu temannya si penodong.  Kami berempat ngobrol sebentar dan bingung mau melapor ke siapa. “Tadi si mbak yang ditodong, sempet diambil perhiasannya ya?”, tanya salah satu ibu. “Mungkin handphonenya kayaknya main hp dia.” jawab yang lain. “Wah, saya kurang lihat jelas, mbaknya langsung teriak dan panik, terus penodongnya mengarah ke penumpang belakangnya.” jawab saya, “Semoga nggak ada yang berhasil diambil.”

“Ayo, kita nyebrang saja!” ajak saya ke sisi utara Jalan Kimia yang lebih ramai. Saya berjalan menyusuri Jalan Kimia, sementara dua ibu tadi naik metromini merah. Saya terus berjalan di trotoar dan berjumpa dengan tiga teman saya yang mau ke Kampus UI Salemba. Ternyata, mereka juga sempat se-kopaja dengan saya. Dua teman saya sudah turun duluan sebelum penodongan, tapi mereka sempet mendengar teriakan dari Kopaja, Satu teman lagi mengalami hal yang sama dengan saya. Kami sama-sama shocked dengan penodongan tadi dan kesal kenapa Kopaja keluar trayek. Sampai di lampu merah depan FK UI, kami berpisah. Kira-kira sudah pukul 18.40 WIB. Saya melanjutkan perjalanan pulang dengan angkot ke rumah.

TKP Penodongan Kopaja 502
TKP Penodongan Kopaja 502

Ket. Garis hijau merupakan trayek yang benar, garis merah adalah rute kopaja 502 yang saya tumpangi.

Terkait penodongan ini, saya menduga beberapa hal:

– Ada kemungkinan kondektur dan sopir sudah merencanakan penodongan karena tidak seharusnya Kopaja keluar trayek dan masuk jalan sepi. Ini bukan pertama kalinya saya naik Kopaja 502 yang keluar trayek, tapi kalau tidak macet banget, tak seharusnya keluar trayek. Jalan Diponegoro dan kimia memang sering macet, tapi saat itu tidak terlalu macet. Seharusnya kopaja melewati Jalan Kimia karena pasti banyak yang naik turun di RSCM atau perempatan St. Carolus-UI. Dalam hal ini, sopir dan kondektur salah karena membahayakan penumpang dengan sengaja ke jalan sepi.

– Salah satu teman yang saya temui bilang pas dia duduk di kursi belakang, si penodong sudah mengawasi para penumpang sejak di Cikini Raya. Dia memutuskan untuk menodong penumpang yang posisinya susah kabur (terpojok).

– Penodong yang saya lihat cuma satu dan memakai baju belang horizontal putih hitam (motif zebra). Usianya sekitar 30-45 tahun dan berkulit hitam. Awalnya dia menyamar sebagai penumpang di barisan kursi paling belakang.

– Penodong ditemani seorang pengendara motor yang sudah siap di luar kopaja (berdasarkan cerita ibu yang lari sama saya).

– Penodong tampak amatiran karena todongannya nggak fokus (ke lebih dari satu penumpang) dan kelihatan ikut panik ketika penumpang berteriak panik. Saya malah tidak yakin apakah penodong mendapatkan barang berharga dari korban pertama dan kedua. Kalau keduanya sibuk menggunakan hanphone atau memakai perhiasan pas di kopaja, kemungkinan gampang ditarik. Saya berdoa mereka bisa ikut lolos dan tidak kehilangan apapun.

– Kemungkinan cuma pakai senjata pisau (berdasarkan penglihatan saya).

Setelah penodongan ini, mungkin saya tetap naik kopaja 502 kalau dari Cikini Raya menuju kawasan Salemba. Tidak ada pilihan kendaraan umum lain. Tidak ada angkot atau rute TransJakarta. Kalau tidak sedang capek, mungkin saya kuat berjalan. Kalau ada cukup uang, mungkin saya akan naik bajaj atau ojek. Saya dan penumpang lain mungkin akan tetap setia dengan Kopaja 502 walaupun kopaja ini sering ugal-ugalan, melebihi kapasitas, dan melanggar trayek.

Tentunya, saya harus lebih berhati-hati dan menyarankan hal-hal berikut supaya kejadian ini tidak terulang:

1. Segera turun kopaja apabila kendaraan keluar trayek. Walaupun dengan alasan “menghindari kemacetan”, lebih baik turun daripada dibawa ke jalan yang sepi dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam kasus ini, masih untung penodong tidak menggunakan senjata api dan tidak beraksi secara berkelompok.

2. Tidak memainkan handphone/smartphone ketika berada dalam kopaja. Penjahat pasti cenderung lebih menarget ke penumpang yang lenggah ketimbang penumpang yang waspada. Handphone saya pernah dicopet dalam metromini karena saya menjawab sms dan pencopet tahu dimana letak hanphone saya.

3. Jangan memakai perhiasan berharga yang gampang ditarik/jambrek, misal kalung atau gelang.

4. Jangan menunjukkan posisi dompet ketika berada di kopaja. Sebelum naik kopaja atau kendaraan umum, sebaiknya kita sudah menyiapkan uang untuk ongkos.

5. Taruh tas di depan. Jangan sekalipun menaruh tas di belakang atau sulit dari jangkauan pengawasan kita. Dua kali tas saya disilet pencopet gara-gara saya males naruh di depan. Ini Jakarta, Bung!

6. Usahakan duduk di posisi yang tidak terpojok dimana kita bisa lari kalau ada sesuatu.  Memang ini agak egois sih karena biasanya kita harus bergeser ke dalam kalau ada di kendaraan umum yang penuh. Kalau di angkot, lebih baik duduk di depan dekat sopir.

7. Jangan melamun, jangan tidur, dan tetap peka waspada.

8. Mungkin ada baiknya kita membawa senjata ringan (seperti semprot bubuk merica) atau memiliki kemampuan bela diri dasar sehingga lebih peka.

9. Sebaiknya kita menghafal atau melihat nomor kendaraan umum yang akan kita tumpangi. Agak susah juga sih kalau untuk saya yang sering naik kendaraan umum berkali-kali dalam sehari.